“Kamu punya jalan sendiri, Dan. Dan aku nggak mau jalan itu jadi berat karena masa laluku.”
Dani pertama kali bertemu dengan Dina di tengah riuhnya masa orientasi mahasiswa baru.
Sosok Dina tak mungkin terlewatkan: ia adalah senior yang tengil, dengan rambut diikat asal dan gaya bicara yang lantang, selalu bisa memancing tawa atau membuat adik-adik tingkatnya tertunduk kikuk.
Dina adalah mahasiswi yang terkenal pemberani, seorang orator ulung yang selalu berdiri di depan, memimpin demo dengan suara lantang menuntut hak-hak mahasiswa.
Mahasiswi seperti Dina tidak sering muncul—ia hadir dengan penuh karisma, namun di balik gaya badungnya, ada kepedulian yang dalam terhadap sekitar.
Dina sedang memimpin demo |
Dani sendiri adalah mahasiswa yang lebih suka berada di lab kampus, menunduk di atas buku tebal dan laporan eksperimen. Dunia Dani jauh dari hiruk-pikuk politik kampus.
Di tahun pertamanya, ia bergabung dengan organisasi sains yang lebih terfokus pada penelitian daripada aktivisme.
Dani suka berpikir rasional dan kritis, dengan otak yang selalu ingin memahami hal-hal yang ilmiah. Namun, meski mereka berbeda, Dani terpesona oleh Dina.
Ada sesuatu dalam diri Dina yang menggerakkan hatinya, membuatnya ingin terus mengamati sosok seniornya itu dari jauh.
*****
Seiring waktu, entah bagaimana mereka berdua mulai saling mengenal. Dani dan Dina dipertemukan lagi di sebuah diskusi terbuka kampus yang membahas perubahan kebijakan.
Dani hadir sebagai perwakilan dari organisasi sainsnya, sedangkan Dina—seperti biasa—ada di sana sebagai pemimpin dari kelompok mahasiswa yang lebih vokal. Diskusi mereka panas, penuh perdebatan.
Dina yang selalu lugas tidak ragu untuk menentang argumen Dani, sementara Dani yang biasanya tenang mencoba tetap bijak di hadapan gaya Dina yang blak-blakan.
Tapi, justru karena perdebatan itu, keduanya jadi sering bertukar pikiran. Dina yang penuh dengan semangat revolusioner memperkenalkan Dani pada sisi lain kampus, di mana ada isu-isu sosial yang lebih dalam dari sekadar teori.
Dina membuat Dani sadar bahwa kampus bukan hanya tempat untuk belajar sains, tapi juga ruang untuk membangun keberanian bersuara. Dani belajar mendengar lebih banyak dan memahami perspektif yang berbeda, meski ia tak selalu setuju.
Di luar kesibukan masing-masing, mereka mulai sering terlihat bersama. Dani sering menunggu Dina selesai dari demo atau diskusi, dan mereka berbincang santai di kantin atau di taman kampus hingga larut.
Terkadang, obrolan mereka berakhir di gerbang kampus, di mana Dina mendorong Dani untuk lebih berani dalam hal-hal di luar laboratorium, dan Dani, sebaliknya, mengajak Dina untuk lebih berpikir analitis dalam pendekatannya.
Entah sejak kapan, Dani mulai merasakan kehadiran Dina bukan lagi hanya sekadar senior yang penuh semangat. Ada ketertarikan yang tumbuh di sana, meski Dani tak pernah mengatakannya dengan terang.
Lambat laun, banyak teman-teman mereka yang mulai menggoda kedekatan mereka. Mereka disebut-sebut sebagai pasangan yang unik—si kutu buku yang tenang dengan si aktivis tengil. Namun, baik Dani maupun Dina tak pernah benar-benar mendefinisikan hubungan mereka.
Meski sering bersama, selalu ada rasa canggung yang menggantung di antara mereka, seolah mereka berdua diam-diam menikmati ketidakjelasan ini.
*****
Waktu berlalu, dan tibalah momen yang tak terelakkan. Dina menyelesaikan studinya lebih dulu dan mengumumkan bahwa ia diterima bekerja di sebuah perusahaan besar di Eropa. Teman-temannya bersorak memberi selamat, namun Dani merasakan perasaan yang berbeda.
Di balik kebanggaan atas pencapaian Dina, ada rasa kosong yang membuat dadanya sesak. Namun, Dani tak pernah mengatakannya. Ia berpikir, mungkin saat Dina sudah pergi, perasaannya akan mereda.
Hari itu akhirnya tiba, hari di mana Dina akan berangkat meninggalkan Indonesia. Dani datang ke bandara untuk mengantarnya, wajahnya menyimpan perasaan yang sulit ia ungkapkan.
Dina menyapanya dengan senyum lebar yang khas, seolah semuanya baik-baik saja. Dani hanya menatapnya, merasa ada kata-kata yang mengganjal di tenggorokannya.
“Din...” Dani memanggil pelan, nyaris berbisik, namun Dina mendengarnya.
Dina menatap Dani dengan tatapan bertanya, tetapi masih dengan senyum tengilnya. “Iya, Dan? Kenapa?”
Dani menarik napas panjang, merasa detak jantungnya semakin cepat. Akhirnya, tanpa bisa ditahan, ia melontarkan kata-kata yang selama ini terpendam.
“Din, maukah kamu menjadi istriku?”
Dina menatapnya, terkejut, kemudian tertawa sambil memukul bahunya dengan gemas. “Setelah sekian tahun menunggu, kenapa baru kamu tanyakan sekarang?”
Dani tersipu, merasa wajahnya panas.
"Aku... aku nggak pernah berani, Din. Aku nunggu waktu yang tepat."
Dina tersenyum lembut, menatap Dani dengan sorot mata yang jauh lebih dalam dari biasanya. “Aku mau, Dan. Tapi kamu harus cepat selesai kuliahmu dan susul aku.”
Dani mengangguk, hatinya penuh dengan tekad. Ia menatap Dina yang melangkah pergi dengan keyakinan yang baru—suatu hari, ia akan menepati janjinya dan menyusul Dina.
*****
Setelah perpisahan di bandara hari itu, Dani kembali ke kampus dengan semangat yang baru. Ia menghabiskan hari-harinya belajar, mengerjakan tugas akhir, dan menyelesaikan kuliahnya dengan tekad bulat.
Hanya ada satu pikiran yang menuntunnya: menyusul Dina, memenuhi janjinya untuk bisa bersama. Namun, jalan itu ternyata tidak mudah.
Dani berhasil lulus dengan hasil yang memuaskan, bahkan mencoba melamar pekerjaan di perusahaan yang sama tempat Dina bekerja di Eropa. Namun, sayangnya, kesempatan itu tak datang.
Surat penolakan dari perusahaan itu membuat Dani sempat terpukul. Harapannya untuk segera menyusul Dina seperti hancur berantakan. Namun, Dani tak menyerah.
Dengan pilihan terbatas, Dani menerima tawaran bekerja di kampusnya sebagai asisten dosen. Dalam waktu singkat, Dani mulai dikenal di lingkup akademik. Keuletannya dan rasa tanggung jawab yang tinggi membuatnya semakin dipercaya.
Karir Dani terus menanjak, hingga ia pun akhirnya mendapat posisi penting di kampus—sebuah jabatan yang cukup berpengaruh, yang justru membuatnya semakin sibuk dan jauh dari kesempatan untuk mengejar Dina.
Ketika akhirnya ia merasa mantap dengan karir dan hidupnya, Dani kembali menghubungi Dina. Ia menyatakan niatnya untuk melamar Dina secara resmi, ingin memenuhi janjinya yang dulu.
Namun, jawaban Dina sungguh mengejutkan: ia menolak, tanpa alasan yang jelas. Dani terdiam. Kebingungan menyelimuti pikirannya, menuntut jawaban.
Bagaimana mungkin seseorang yang pernah berjanji untuk menunggu, kini justru menutup pintu tanpa penjelasan?
Dina tetap sama hangatnya, tetap ramah saat mereka berbicara, tapi di balik semua itu, Dani tahu ada sesuatu yang disembunyikan. Meski sedih, Dani mencoba menerima keputusan itu dan melanjutkan hidupnya.
*****
Beberapa waktu kemudian, Dani menikah dengan seorang teman sekelas yang selama ini mendukung dan mengisi harinya, meski dalam hatinya, perasaan untuk Dina belum benar-benar hilang.
Beberapa tahun berselang, Dani mendapat kesempatan untuk menghadiri konferensi di Australia, yang dihadiri oleh banyak profesional dari seluruh dunia. Di sana, tanpa diduganya, ia bertemu Dina.
Sosok yang pernah begitu ia cintai itu kini berdiri di hadapannya, masih sama ramahnya, seolah tidak pernah terjadi apa-apa di antara mereka. Dina tersenyum, mengajaknya berbincang seperti dua orang teman lama yang bertemu lagi setelah waktu lama.
Namun, rasa penasaran Dani tak kunjung padam. Mereka menghabiskan malam itu dengan makan malam bersama, mengobrol ringan tentang berbagai hal. Sampai akhirnya, Dani, tak bisa lagi menahan diri, bertanya dengan suara yang nyaris bergetar.
Dani yang hanya bisa diam terpaku |
"Din, kenapa kamu pergi begitu saja? Kenapa kamu menolak aku tanpa pernah menjelaskan?”
Dina terdiam sejenak, lalu menghela napas panjang. Wajahnya terlihat menahan perasaan yang sulit dijelaskan.
“Dani,” katanya pelan, “kamu tahu aku dulu aktif di kampus, sering ikut demo, selalu kritis terhadap banyak kebijakan. Semua orang tahu itu. Aku nggak mau, di masa depan, hal-hal yang aku lakukan dulu jadi beban buat kamu—apalagi dengan posisimu sekarang di kampus.”
Dani terpaku. Penjelasan itu begitu sederhana, namun membuatnya memahami sesuatu yang selama ini tak ia sadari. Dina menatapnya dengan senyum lembut, penuh rasa pengertian.
“Kamu punya jalan sendiri, Dan. Dan aku nggak mau jalan itu jadi berat karena masa laluku.”
Dani terdiam lama. Kata-kata Dina menghujam hatinya, menyalakan kembali cinta yang dulu ia pendam begitu dalam. Ia menyadari betapa Dina selalu memikirkan dirinya, bahkan ketika itu berarti harus mengorbankan perasaan mereka.
Di antara cahaya lampu restoran, Dani hanya bisa menatap Dina, sosok yang kini terasa semakin jauh.
Waduhhhh cerpennya loh !!! Semoga Dani maupun Dina dapat menemukan kehidupan masing2 yang lebih baik yess.Fakta : cinta memang gak hrs memiliki kok..:(
BalasHapustegar tapi hatinya berdarah.....
Hapuscinta gak harus memiliki ya meski tetap meninggalkan luka
HapusBetul sekali mas Rezky, tegar di luar tapi terluka di dalam
Hapusmereka engga berjodoh memang, di kejar sampai ujung dunia pun kalo gak berjodoh gak akan bersama, meski mereka saling mencintai, dan cinta gak harus memiliki :), semangat dani :D
BalasHapusTakdir memang sulit dilawan, tapi Dani tetap berusaha dengan semangatnya. Terima kasih sudah mendukung karakter ini
HapusPadahal Dani pasti mau ambil resiko ya, seandainya saja Dina memberi Dani kesempatan untuk memilih. Cerpen yang bagus.
BalasHapusTerima kasih, mb Ge! Dani memang berani ambil resiko, hanya saja Dina punya alasannya sendiri. Senang cerpen ini bisa meninggalkan kesan untuk mb Ge.
HapusDitinggal tanpa alasan yang jelas memang menyakitkan dan untungnya si Dani bisa move on dan ternyata Dina meninggalkan Dani karena tak ingin memberatkan Dani dengan masa lalunya di kampus karena karir Dani di kampus.
BalasHapusPengen banget bikin cerpen yang minim dialognya tapi kok saya ngga bisa-bisa ya?
Kadang masa lalu memang jadi beban tak terungkap ya
HapusKalo boleh tahu kenapa seorang aktivis tidak cocok dengan kampus bang Day?
BalasHapusContohnya Dina mundur karena tidak mau menjadi beban Dani seorang asisten dosen.
Dina merasa kurang cocok karena tekanan dunia akademis yang dirasakan berbeda dengan idealismenya sebagai aktivis. Terima kasih sudah memperhatikan detailnya mas Agus
HapusCLBK gak tuh.. 😅
BalasHapusSetelah rasa penasaran ternyata jawaban Dina untuk masa depan Dani. Aaaah ini bikin Dani makin tersayat-sayat gak sih
CLBK? Hmm, mungkin iya, mungkin juga tidak. Dina punya alasan kuat, tapi itu malah bikin Dani makin merasakan pilu. Terima kasih sudah ikut baper, hehe
HapusAih.. Sebenernya, semua masih bisa dibicarakan, Dina. Jangan ngilang gitu aja, dong..
BalasHapusKomunikasi memang kuncinya ya. Dina ngilang gitu aja memang bikin greget, ya. Terima kasih sudah ikut merasa dan meresapi cerita ini
Hapushmm ini cerpen seperti diriku di masa itu, dimana tidak bertemu di masa kini tapi setidaknya dahulu bahagia anjay
BalasHapusDuh duh, semoga lukanya udah sembuh ya :)
HapusWah, cerpen ini bikin aku baper banget! 😍 Gaya penulisannya asyik dan bikin kita seolah ikut merasakan suasana di bandara. Aku suka bagaimana penulis bisa menggambarkan perasaan dan kerinduan dengan detail yang sederhana tapi mendalam.
BalasHapusJadi penasaran, apa ya yang terjadi selanjutnya? Semoga ada kelanjutannya!
Kita liat saja ya mba apakah masih bisa dilanjutkan hehe
Hapuskalau saya jadi dani saya takkan bernikah dulu sampai hati benar2 'kosong'...
BalasHapusSetuju dengan kak anies. Seharusnya kalo masih ada rasa dengan orang lain, ya jangan menikah dulu. Tapi di cerita ini salut dengan dina yg ga egois sama sekali. Memperhatikan kepentingan dani sampai segitunya 👍
Hapus